Penulis : Viola Dheena Pongajow
“Aneka hanya akan menjadi bencana jika kita merasa diri yang terutama.”
Ibarat katak yang berkata “suaraku paling merdu”. Ya, tentu saja paling merdu. Karena ia tinggal di bawah tempurung. Di luar tempurung masih banyak suara lain yang tak kalah merdu: kicauan burung, embikan kambing, keruyukan ayam. Sayangnya si katak memilih untuk hidup dalam dunianya sendiri dan tidak mau terbuka kepada dunia.
Kita tahu bahwa Indonesia disebut Negara majemuk karena masyarakatnya yang beraneka suku, agama, ras, dan budaya. Keanekaragaman ini mempengaruhi kultur, sikap dan pembawaan diri dari masing-masing individu.
Walau demikian, masyarakat Indonesia tetap memiliki pada status dan kedudukan yang sama, dengan hak dan kewajiban yang sama, yaitu bersatu di atas perbedaan demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hal menjaga persatuan dan kesatuan, Pancasila menjadi dasar dan pandangan hidup yang menjiwai setiap tindak-tanduk dan perilaku masyarakat Indonesia. Merujuk pada makna setiap sila yang ada pada Pancasila, maka pastinya tidak akan ada permasalahan sosial di negara ini jika masyarakat Indonesia patuh mengamalkan nilai-nilainya. Kenyataannya? Ada saja sekelompok orang yang hidup dengan paham Eksklusivisme di masyarakat dan berbuah intoleransi kepada sesama. Kelompok ini meyakini bahwa kelompok/suku/agama yang mereka anut adalah yang paling benar.
Ibarat katak yang berkata “suaraku paling merdu”. Ya, tentu saja paling merdu. Karena ia tinggal di bawah tempurung. Di luar tempurung masih banyak suara lain yang tak kalah merdu: kicauan burung, embikan kambing, keruyukan ayam. Sayangnya si katak memilih untuk hidup dalam dunianya sendiri dan tidak mau terbuka kepada dunia.
Bagi yg berkembang dengan eksklusivisme agama, agama menjadi segala-galanya bagi mereka. Dampaknya, tak sedikit pemuda militan yang diberdayakan oleh gerakan keagamaan yang demonstratif. Dalam lingkungan yang dominan, mereka enggan bergaul dengan orang lain dan bangga dengan kelompok mereka yang “tidak bisa diusik” oleh siapapun. Kerap kali mereka lupa bahwa kasih pada Sang Pencipta sudah seharusnya tercermin lewat kasih kepada sesama manusia.
Pada akhirnya hal inilah yang menghambat hubungan antar kelompok dan menyebabkan terjadinya diskriminasi. Pada kondisi seperti ini, penghasutan gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan agama sangat rentan terjadi.
“Dalam Solidaritas dengan Sesama Anak Bangsa Kita Tetap Mengamalkan Nilai-nilai Pancasila Guna Menanggulangi Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme, dan Perusakan Lingkungan”
Kata-kata di atas adalah sub-tema dari salah satu organisasi keagamaan di Indonesia yang sangat jelas menunjukkan bahwa untuk menanggulangi masalah-masalah yang ada, perlu adanya solidaritas dari semua anak bangsa. Dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengamalan nilai-nilai pancasila adalah kuncinya.
Pancasila adalah dasar kokoh bagi bangsa Indonesia yang besar. Pun menjadi kontrol dan pengingat bahwa: Aneka akan menjadi bencana jika kita merasa diri yang utama. Oleh sebab itu kita harus bersatu dan menjaganya.
Penulis percaya keutuhan Negara Republik Indonesia tidak bisa dihancurkan oleh segelintir orang yang tak ber-Pancasila. Maksudnya ialah mereka yang hanya mau mengamalkan nilai dari satu sila saja, tanpa mengacuhkan nilai-nilai yang lain.
Keluar dari tempurung dan lihatlah dunia yang beraneka. Bila pancasila dijaga, pesona bangsa kan muncul: puspita yang puspawarna.