Oleh: Josef Christofer Benedict
Antara religiusitas dan rasionalitas. Keduanya telah menjadi sumber pertentangan
dilematis yang begitu panjang dalam peradaban manusia. Sementara religiusitas mengedepankan
hubungan transenden dengan Yang Ilahi, rasionalitas menitikberatkan logika dan pengetahuan
sebagai pedoman kehidupan. Masyarakat Eropa harus melalui Abad Pencerahan (1695-1815)
untuk akhirnya meluruhkan dominasi lembaga agama dan mengedepankan kehidupan berbasis
pengetahuan. Amerika Serikat masa kini, dengan masyarakatnya yang mengagungkan rasionalitas
demokrasi, tengah menyaksikan kemerosotan jumlah pengunjung rumah ibadat. Religiusitas dan
rasionalitas seolah hadir tanpa mampu berdampingan, dengan yang satu meniadakan yang lain.
Pada konteks yang berbeda, pertentangan serupa juga terjadi dalam pertempuran ideologi
– dimana konflik paling aktual terjadi antara komunisme dan liberalisme. Yang pertama
disebutkan merupakan paham yang mengedepankan kesetaraan lewat hak milik bersama,
sementara yang kedua menjunjung tinggi hak milik individu dan kekuasaan pasar. Meski narasi
persaingan masih kerap ditemukan, sejatinya konflik keduanya telah berakhir sebelum abad 20 –
ditandai dengan kemenangan liberalisme, kehancuran Uni Soviet, dan ditinggalkannya
komunisme oleh berbagai negara. Sementara terhadap bentuk-bentuk ideologi lain, seperti
monarkisme, fasisme, otoritarianisme, dan nazisme, telah lama gagal dalam lintasan sejarah.
Pada kelanjutannya, catatan pertentangan dalam peradaban kemanusiaan tersebut justru
menjadi hal yang kerap gagal disadari oleh para empunya Pancasila, yakni masyarakat Indonesia.
Padahal, Pancasila sebagai landasan ideologis, telah melampaui segala konsep dan ideologi yang
dipertentangkan tersebut. Dalam butir-butirnya, Pancasila secara universal merangkul aspek
religiusitas melalui sila pertama dan penggunaan rasionalitas demokrasi pada sila keempat.
Sementara melangkahi perdebatan ideologis, Pancasila menjunjung keadilan sembari tetap terbuka
akan kebebasan individual dengan asas keberadaban. Hingga titik ini, Pancasila menunjukkan diri
telah begitu jauh melampaui zamannya – sehingga oleh karenanya, akan terus relevan dalam
konstelasi peradaban yang terus bergerak maju.
Gerak Pancasila dalam lintasan sejarah Indonesia telah begitu panjang. Konon, sebelum
disahkannya pada 1945, Pancasila telah hidup dan bernaung dalam manifestasi kehidupan
masyarakat kuno Indonesia. Artinya, usia Pancasila telah mencapai ratusan tahun, lebih tua dari
negeri Indonesia sendiri, dan butir-butirnya merupakan falsafah dasar kehidupan (Magnis-Suseno,
2021). Inilah yang membedakan Pancasila dengan ideologi lain – dimana kehadirannya lahir dari
gerak-gerak kolektif yang hidup secara nyata, bukan dari gagasan-gagasan sosok pemikir seperti
John Locke, Friedrich Engels, dan Karl Marx.
Konseptualisasi Masalah
Dalam realitas demikian, kecanggihan Pancasila dari zamannya justru dihadapkan pada
kegagalan kesadaran masyarakat Indonesia, terkhusus generasi muda. Di tangan mereka – secara
khusus Generasi Z, atau populer disebut Gen Z, sebagai fondasi masa depan bangsa sekaligus
kelompok usia mayoritas dengan proporsi hingga 27,94% dari total penduduk Indonesia (Badan
Pusat Statistik, 2021) – Pancasila tengah berada dalam krisis. Pandangan terhadap Pancasila begitu
lemah, baik dalam konteks luas Pancasila terhadap pandangan dunia maupun Pancasila terhadap
praksis hidup keseharian (Poespowardojo & Seran, 2021). Atas situasi demikian, upaya
menghidupkan butir-butir Pancasila menjadi begitu sulit diwujudkan dan pembahasan atasnya
terbatas pada retorika atau tanggung jawab kurikulum belaka. Terdapat setidaknya tiga penyebab
atas situasi krisis Pancasila di kalangan Gen Z demikian.
Pertama, Pancasila tidak lagi populer. Dalam tawaran dunia digital yang penuh daya tarik,
warna-warni masyarakat global, instanitas, dan tampilan kehidupan semu, kacamata Gen Z
terhalang untuk memandang falsafah Pancasila yang kuat akan nilai lokal, jernih, dan
membutuhkan refleksi batin. Besarnya popularitas komunisme dan liberalisme daripada Pancasila
juga tak lepas dari kecenderungan orientalisme, yang terjadi tidak hanya pada masyarakat Barat
namun juga masyarakat Timur seperti Indonesia yang menjadi sub-ordinat. Said (2010)
mendefinisikan orientalisme sebagai penggambaran unsur-unsur budaya Timur oleh bangsa Barat
melalui cara pandang Barat. Hal ini menyebabkan hilangnya objektivitas dalam memandang
budaya Timur dan menimbulkan perspektif yang menilai bangsa Barat sebagai pihak yang lebih
maju dan dominan. Dalam konteks Pancasila, pengaruh orientalisme menyebar kian luas dengan
kehadiran media sosial yang dinahkodai oleh perusahaan-perusahaan Barat dan menimbulkan rasa
inferior terhadap unsur-unsur nasional. Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo pada
November 2021 lalu,
“jangan-jangan kita memiliki mental inlander” (Detik.com, 2021).
Kedua, degradasi makna Pancasila akibat pengulangan kosong yang terus menerus. Survei
yang dilakukan terhadap Gen Z, secara khusus mahasiswa di seluruh Indonesia, menunjukkan
bahwa kelompok usia tersebut telah jenuh terhadap sistem edukasi Pancasila yang sangat bersifat
indoktrinasi. Mereka menilai bahwa pembelajaran terhadap Pancasila begitu satu arah tanpa
adanya interaksi maupun penerapan nyata. Survei tersebut dilakukan oleh Kompas dan Pusat Studi
Kebangsaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya pada tahun 2022 (Kompas, 2023). Dalam mata
pelajaran seperti PPKn dan Pendidikan Pancasila, begitu juga dalam pidato-pidato kenegaraan,
istilah Pancasila kerap terucap begitu saja secara berulang-ulang. Pengulangan tersebut
disampaikan layaknya Pancasila sebagai sebuah nama semata, atau konsonan kosong, yang tidak
memiliki muatan historis dan filosofis di dalamnya. Penyebutan seperti “Hidupilah Pancasila”,
“Banggalah dengan Pancasila”, ataupun “Pancasila harga mati”, telah diulang-ulang begitu
seringnya tanpa ada contoh atau interaksi nyata untuk mewujudkannya, sehingga membuat makna
dari Pancasila pun tergerus.
Ketiga, kurangnya sosok keteladanan Pancasila bagi Gen Z. Dengan derasnya pengaruh
asing terhadap prinsip-prinsip asli bangsa Indonesia dan dangkalnya makna Pancasila dalam hilir-
mudik komunikasi publik, diperlukan setidaknya sosok teladan yang menunjukkan contoh nyata
penghidupan Pancasila. Melalui kesosokannya, Gen Z yang mulai tercerabut dari akar
kebangsaannya dapat melihat bagaimana Pancasila memberika kesuburan bagi manusia yang
menghidupinya dan bercermin dari sikap hidup tersebut. Sosok teladan ini begitu penting sebagai
kompas moral bangsa, sehingga oleh Alatas (1982) disebut sebagai “subjek moral”. Orang-orang
ini lantas harus ditempatkan pada puncak struktur pemerintahan, untuk karisma Pancasilanya dapat
menjadi teladan yang menerangi masyarakat luas. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas
menemukan bahwa 20,5% responden menilai bahwa ancaman Pancasila datang dari kurangnya
keteladanan tokoh atau pejabat (Kompas, 2023). Temuan ini menjadi tidak aneh ketika mengingat
bahwa segala tindakan anti-tesis dari Pancasila, seperti korupsi, penipuan publik, nepotisme,
pernyataan menyesatkan, pencucian uang, hingga caci-maki dipertontonkan secara vulgar dan
tanpa rasa malu oleh para tokoh politik negeri di hadapan publik.
Atas berbagai penyebab tersebut, Gen Z pun dihadapkan pada kegagalan untuk menggali
refleksi mendalam dan sejati terhadap makna Pancasila yang sesungguhnya. Meskipun Gen Z
sendiri memiliki andil atas krisis Pancasila, namun menjadi masuk akal untuk menyadari bahwa
ini merupakan konsekuensi dari sistem kenegaraan yang bermasalah. Baik itu sistem sosial dan
kebudayaan, politik, serta terutama sekali pendidikan. Gen Z terlanjur terbawa arus masif
globalisasi dan digitalisasi, tanpa negara sempat memberikan perlindungan dan pencegahan.
Politik, seperti biasa, menjadi arena kotor yang justru menjadi antipoda dari pelaksanaan Pancasila.
Sementara pendidikan Indonesia telah begitu kuno untuk memberikan pembelajaran terhadap
Pancasila yang adaptif terhadap zaman.
Berbagai kondisi ini terjadi meski Gen Z sesungguhnya begitu potensial untuk
menghidupkan Pancasila. Dengan keterhubungan yang erat terhadap teknologi digital, Gen Z
memiliki kapasitas terkoneksi yang baik dengan sesama kelompok. Selain itu, Gen Z juga lebih
toleran dibanding generasi lainnya, terbuka terhadap ragam pandangan dan perbedaan, serta penuh
motivasi untuk terus berkembang (PSKP Kemendikbudristek, 2021). Nilai-nilai tersebut secara
nyata diwujudkan dalam keseharian Gen Z dan menunjukkan kecenderungan hidup yang sesuai
dengan butir-butir Pancasila.
Alternatif Solusi: Menjawab Krisis Ideologi
Atas potensi yang ada tersebut, akan begitu pesimis dan ceroboh bila menilai Gen Z telah
gagal menghidupkan Pancasila. Kecenderungan yang dimiliki Gen Z justru dapat menjadi potensi
berharga untuk mensosialisasikan sekaligus mewujudkan Pancasila bagi Gen Z. Apalagi,
kedekatannya dengan dunia digital juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang pembelajaran alternatif
akan Pancasila.
Untuk itu, pertama-tama pihak pemerintah harus melakukan perubahan melalui reformasi
sistem pendidikan Pancasila. Pembinaan ideologi Pancasila harus dilakukan dengan agenda besar
yang holistik, inklusif, modern, dan diwujudkan secara merata. Mengatasi persoalan pengulangan
tanpa makna, Pancasila tidak lagi bisa disampaikan secara tunggal dalam konsonan kata yang
kosong. Pembinaan Pancasila harus digalang secara komprehensif dengan melibatkan bidang-
bidang kehidupan lain, seperti soal kesejahteraan, keadilan sosial, ekonomi, dan demokrasi.
Dengan begitu, Pancasila dapat dimaknai secara menyeluruh dan mendalam.
Untuk mewujudkan solusi tersebut, pemerintah telah berada di jalan yang selaras dengan
hadirnya sistem Merdeka Belajar yang dikonsepkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Nadiem Makarim. Proses pembelajaran dalam Merdeka Belajar mulai menekankan
pemusatan pada anak didik. Dalam konteks pembinaan Pancasila, hal ini dapat menciptakan
interaksi yang sehat. Masih dalam konteks yang sama, anak didik tetap memerlukan pelibatan
dalam kegiatan konkret seperti kerja proyek dan tugas lapangan terkait penghidupan Pancasila.
Dengan begitu, Gen Z dapat lebih mudah melakukan internalisasi dan penghayatan nilai-nilai
Pancasila.
Selain itu, tanpa menyenderkan nasib pada pemerintah semata, Gen Z sendiri harus secara
aktif dan penuh kesadaran mengupayakan internalisasi akan Pancasila sendiri. Melalui pembinaan
Pancasila yang diperoleh dalam sistem pendidikan, Gen Z dapat membawanya pada keprihatinan
kolektif akan masyarakat, negara, dan lingkungan. Dari sini, gerakan pelajar maupun mahasiswa
dapat membangun aliansi penghidupan Pancasila melalui aksi-aksi konkret. Aksi
ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu menjadi contoh nyata bahwa hal ini sangat mungkin
diwujudkan Gen Z. Dengan koneksinya, Gen Z memiliki kapasitas untuk menyuarakan dan
meluaskan suatu topik bagi pengorganisasian masaa. Semakin luas jejaringnya, Gen Z akan
semakin belajar mengenai keberpihakan – bukan pada kepentingan, bukan pada keuntungan,
melainkan pada kebijaksanaan Pancasila.
Kehadiran Gen Z akan sangat substansial bagi pembangunan simpul-simpul penghidupan
Pancasila, terutama pada situasi negeri yang tengah mengalami krisis pemaknaan ideologi.
Menghidupkan pergerakan, kajian, dan diskurus di koridor kampus maupun sekolah bisa
menemukan poin empiris Pancasila. Topiknya sendiri justru jangan melulu terkait Pancasila itu
sendiri, melainkan pada butir-butir konkret seperti keadilan, ketidakberadaban, intoleransi, dan
lainnya. Dengan menjadi voice of the ideology, Gen Z sungguh mampu menyatakan diri sebagai
katalisator Pancasila. Pergerakan ini menjadi bukti riil menerjemahkan idealisme generasi melalui
keberpihakan pada Pancasila. Jadikan perjalanan ideologis ini sebagai ritus inisiasi menuju
kedewasan.
Akhirnya, apabila potensi ini dapat dihidupkan, tidak hanya Gen Z mampu menangkal
“krisis Pancasila”, melainkan juga secara nyata menjadi “subjek moral” itu sendiri bagi generasi
setelahnya. Untuk mendorong ketercapaian tersebut, patutlah ditutup dengan tulisan Magnis-
Suseno (2021): Pancasila tak pernah kehilangan relevansi. Kegagalan menemukannya, justru
menandakan kedangkalan manusia.
Hidup Ideologi Bangsa! Panjang Umur Gerakan Muda!
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2021). Berita Resmi Statistik: Hasil Sensus Penduduk 2020. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
Detik.com. (2021, November 12). Kala Jokowi Sedih Mental Inlander Padahal Sudah Jadi Bangsa
Merdeka Baca artikel detiknews, “Kala Jokowi Sedih Mental Inlander Padahal Sudah Jadi
Bangsa Merdeka” selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5807752/kala-jokowi-
sedih-mental-inlander-pad. Diambil kembali dari Detik.com:
https://news.detik.com/berita/d-5807752/kala-jokowi-sedih-mental-inlander-padahal-
sudah-jadi-bangsa-merdeka
Kompas. (2023, Januari 18). Generasi Muda Tidak Suka Metode Indoktrinasi. Jakarta: Harian
Kompas. Hlm 5.
Kompas. (2023, Juni 5). Pancasila Menjawab Tantangan Bangsa. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 3.
Magnis-Suseno, F. (2021). Demokrasi, Agama, Pancasila. Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia
Now. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Poespowardojo, M. T., & Seran, A. (2021). Pancasila: Filsafat Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Dan Roh Revolusi Mental. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
PSKP Kemendikbudristek. (2021, Februari 4). Gen Z Dominan, Apa Maknanya bagi Pendidikan
Kita? . Diambil kembali dari pskp.kemdikbud.go.id:
https://pskp.kemdikbud.go.id/produk/artikel/detail/3133/gen-z-dominan-apa-maknanya-
bagi-pendidikan-kita
Said, E. (2010). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat Dan Mendudukkan Timur Sebagai
Subjek. (S. Z. Qudsy, Penyunt., & A. Fawaid, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.