free page hit counter

Diskresi : Demokrasi dan Pembentukan Undang-Undang dalam Implementasi Sila Ke-3

Fitria Damayanti
Universitas Negeri Semarang, Semarang

ABSTRAK
Sudah kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Demokrasi juga
terwujud dalam proses pembentukan Undang-Undang Negara Indonesia. Dalam proses
pembentukannya, Undang-undang mengalami polemik yang cukup pelik antara masyarakat
dan badan pembentuk Undang-undang. Adanya demokrasi diharapkan dapat membuat
putusan yang diambil pemerintah lebih bijaksana dan mempertimbangkan banyak aspirasi.
Munculnya polemik juga dipengaruhi kurangnya pemahaman masyarakat mengenai sumber
dari segala sumber, yaitu Pancasila.

Namun selain itu urgensitas pembentukan Undang-Undang juga perlu diperhatikan.
Seharusnya demokrasi bukan menjadi hambatan untuk pembentukan undang-undang
melainkan kekuatan yang membuat suatu peraturan lebih kuat keberadaannya. Dalam hal ini
perlu implementasi dari permaknaan sila ke- 3 Pancasila yang dapat menyatukan segala
aspirasi baik dari masyarakat maupun badan pembentuk Undang-undang. Perlunya diskresi
agar keduanya dapat berjalan dengan baik tanpa mengorbankan salah satunya.


Kata Kunci : Demokrasi, Undang-Undang,Implementasi, dan Diskresi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki sumber dari segala sumber hukum
yaitu Pancasila. Sedangkan Undang-undang sebagai sumber kepastian hukum diterapkan
berlandaskan pada pancasila. Undang- undang yang digunakan di Indonesia merupakan hasil
pengadopsian dari Undang- undang Belanda. Sebelum kemerdekaan Indonesia, hukum
Belanda juga diterapkan di Indonesia. Penerapan hukum Belanda ini berdasarkan asas
konkordansi, yaitu penerapan hukum Eropa untuk warga Belanda di Hindia Belanda. Setelah
kemerdekaan Undang-undang ini diberlakukan bagi seluruh Warga Negara Indonesia(WNI).
Tujuan pengadopsian tersebut untuk mengisi kekosongan peraturan setelah masa
kemerdekaan 1945. Hal ini diatur dalam ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945. Terdapat
banyak penyesuaian yang diupayakan yang dilakukan hingga kini oleh Pemerintah Indonesia
melalui perubahan Undang-Undang. Badan yang bertanggung jawab melakukan perubahan di
Indonesia adalah DPR yang aspirasinya berasal dari DPR, Presiden, dan DPD. Sistem hukum
yang digunakan sekarang merupakan gabungan dari sistem hukum civil, hukum adat, dan
juga hukum islam. Banyaknya kebutuhan perubahan seimbang dengan banyaknya perubahan
yang dilakukan. Hingga 77 tahun kemerdekaan Negara Indonesia, setidaknya sudah empat
kali UUD mengalami Amandemen. Amandemen dilakukan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002

Pilar hukum di indonesia memiliki 3 pilar yaitu kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan.
Di Indonesia dari ketiga hal tersebut yang lebih diutamakan Hakim dalam mengambil
keputusan adalah kepastian hukum. Dalam proses pembentukan Undang-Undang guna
memberikan kepastian hukum, yang merupakan salah satu dari pilar hukum. Pemerintah
Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam menjalankan demokrasi. Demokrasi yang
merupakan salah satu cara untuk menyalurkan aspirasi masyarakat tak jarang menimbulkan
polemik. Hal ini dikarenakan demokrasi yang berjalan sering diiringi kericuhan dan
timbulnya banyak kubu di masyarakat. Kubu yang terbagi ini biasanya karena perbedaan
pendapat mengenai perubahan Undang-undang itu sendiri. Timbulnya beberapa kubu ini
akhirnya menyebabkan perpecahan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini sudah dengan jelas
tercantum dalam Pancasila sila ke-3 bahwa masyarakat Indonesia memegang teguh persatuan
dalam kesatuan. Mengenai latar belakang diatas penulis ingin membahas dengan judul
Diskresi : Demokrasi dan Pembentukan Undang- Undang alam Implementasi Sila Ke-3.

B. Rumusan Masalah

  1. Mengapa Indonesia menerapkan demokrasi?
  2. Bagaimana urgensi pembentukan undang-undang?
  3. Bagaimana implementasi sila ke-3 dalam pembentukan Undang-undang?

C. Tujuan

  1. Mengetahui latar belakang diterapkannya demokrasi di Indonesia
  2. Memahami urgensi pembentukan undang-undang
  3. Mengetahui penerapan secara konkret sila ke-3 Pancasila dalam pembentukan
    Undang-undang
  4. Mengetahui keterkaitan demokrasi dan persatuan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Mengapa Indonesia menerapkan demokrasi?
Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda
tetapi tetap satu. Dilihat dari geografinya pun Indonesia terbentuk dari gabungan pulau yang
memiliki kebudayaan, suku, dan adat yang berbeda. Perbedaan ini yang selanjutnya
membutuhkan pertimbangan dari masyarakat itu sendiri untuk setiap keputusan yang diambil
oleh Pemerintah. Dalam pengambilan keputusan ini dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk
menyampaikan aspirasinya. Bahkan di Indonesia terdapat yang dinamakan pesta demokrasi,
yaitu kata lain dari pemilihan umum. Hal ini menunjukan pentingnya peran rakyat dalam
sistem pemerintahan. Abraham Lincoln sendiri menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Merujuk kepada
rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyampaikan makna dalam Pembukaan UUD bahwa
Indonesia berkedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat sendiri memiliki arti bahwa penguasa
tertinggi dalam suatu negara adalah rakyat. Kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan
ketentuan-ketentuan konstitusi, yaitu UUD 1945[1]. Hal ini mendasari disebutnya demokrasi
yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi konstitusional.

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri TNI Wawan Kustiawan
menyatakan bahwa sebesar 86% masyarakat Indonesia cocok dengan demokrasi. Masyarakat
Indonesia menilai demokrasi sebagai sistem yang paling sesuai bagi Indonesia dilihat dari
kultur budaya. Hal ini dinyatakan dengan hasil 66% menyatakan puas dengan demokrasi
yang berjalan saat ini. Disampaikan oleh Wawan berdasarkan hasil riset persepsi masyarakat
Indonesia terhadap demokrasi yang dilakukan oleh Saiful Munjani Research Center (SMRC).
Banyak demokrasi yang sudah diterapkan mulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin,
dan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan sistem yang terbaik dari sistem
demokrasi sejenis. Banyak penyesuaian dan penggabungan antara beberapa sistem demokrasi
dalam demokrasi pancasila. Hal ini karena dalam demokrasi liberal terlalu sering berganti
kabinet yang akhirnya menyebabkan anggaran yang membengkak. Demokrasi terpimpin
yang berakhir dengan keputusan satu pihak dan kesewenang-wenangan pemimpin. Sebagai
negara yang baru merdeka, banyak penyesuain dan uji coba mana sistem yang paling sesuai.
Demokrasi pancasila dinilai dapat menyalurkan aspirasi masyarakat dengan baik ke
pemerintah. Sesuai dengan equality before the law yang bermakna semua rakyat harus punya
kedudukan sama di depan hukum. Dalam demokrasi hal itu dapat tercapai, seperti melakukan
pemilihan, aspirasi ke pemerintah, dan penyampaian kritik. Oleh karena itu demokrasi
menjadi jembatan emas untuk masyarakat berkontribusi dalam pemerintahan khususnya
dalam revisi Undang-Undang Dasar.

B. Bagaimana urgensi pembentukan undang-undang?
Secara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menyadari bahwa ketentuan yang mereka
susun pasti akan mengalami perubahan. Hal ini karena tuntutan perkembangan zaman yang
akan berbeda dengan zaman saat UUD dirumuskan pertama kali. Untuk itu perumus
membuat pasal perubahan yaitu Pasal 37 UUD 1945. Ditambah UUD yang digunakan oleh
Indonesia merupakan adopsi dari Belanda sebagai bentuk pengisian kekosongan setelah
kemerdekaan. Dalam pembentukannya terdapat perbedaan antara penggantian dan
amandemen konstitusi. Penggantian sendiri memiliki tujuan untuk mengganti konstitusi yang
telah lama dengan konstitusi yang baru. Sedangkan amandemen memiliki tujuan untuk
memperkuat pasal yang lama, menggantinya dengan pasal yang baru diantara pasal yang
lama. Penggantian dan amandemen memiliki alasan yang kuat dan mendesak. Antara lain
konstitusi yang berlaku dinilai telah lama dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain itu terdapat alasan pergantian rezim pemerintahan yang menghendaki perubahan
konstitusi atas dasar kekuasaan.

Dorongan perubahan UUD juga ditambah dengan kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai
subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaanya tidak berjalan lancar. Berjalannya hal
tersebut harus sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan negara berdasarkan konstitusi.
Antara lain adalah tegaknya tatanan demokrasi, negara berdasarkan hukum yang menjamin
kepastian hukum, dan keadilan sosial bagi masyarakat. Keberhasilan amandemen UUD 1945
oleh MPR seharusnya menjawab kehausan masyarakat akan kebutuhan landasan konstitusi
baru. Saat ini yang terjadi adalah etatisme, otoriterisme atau kediktatoran yang menggunakan
UUD 1945 sebagai sandaran. Konstitusi ini vital bagi negara karena sebagai dasar bagi
keberlanjutan demokrasi sebuah negara konstitusional. Namun terdapat beberapa
konsekuensi dengan adanya amandemen yang dilakukan. Konsekuensi tersebut berupa
perubahan terhadap tatanan dan mekanisme ketatanegaraan Indonesia tidak menutup
kemungkinan adanya institusi baru. Dengan adanya konsekuensi tersebut tidak mengurangi
urgensitas pembentukan UUD. Dalam hukum sendiri juga terdapat asas legalitas yang
berbunyi “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli”. Asas tersebut
menyatakan tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Hal ini juga selaras dengan
Pasal 1 ayat 1 RUU KUHP. Peraturan yang dimaksud tercantum di dalam konstitusi yaitu
UUD. Oleh karena itu sebuah konstitusi harus selalu diperbarui agar segala hal tindakan
melawan hukum dapat mendapatkan kepastian hukum sesuai pilar hukum.

C. Bagaimana implementasi sila ke-3 dalam pembentukan Undang-undang?
Sila ke-3 Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia, menjadi pemersatu keberagaman
Indonesia. Implementasi makna dari sila ke-3 Pancasila ini di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat dan juga pemerintahan. Salah satunya adalah dalam proses pembentukan
Undang-undang sebagai konstitusi negara Indonesia. Sering kali pembentukan Undang
Undang mengalami polemik dan pro kontra, baik dari masyarakat sendiri maupun
Pemerintah. Pemerintah yang mewakili pembentukan Undang-Undang adalah DPR yang
mendapatkan aspirasi dari DPD, DPR, dan juga Presiden. Dalam perumusan rancangan
Undang-undang pasti melalui musyawarah atau rapat bersama dari berbagai daerah,
kalangan, dan partai politik. Hal ini mencerminkan persatuan untuk mencapai kesepakatan
dari berbagai pihak. Ketika suatu rancangan Undang-undang sudah diserahkan ke masyarakat
maka muncul permasalahan baru. Banyak sekali polemik yang timbul dan membagi
masyarakat menjadi dua kubu yaitu tim pro dan kontra. Penyebab munculnya kubu ini dilatar
belakangi oleh kurangnya penjelasan kepada masyarakat umum. Ditambah adanya oknum
penyebar hoaks untuk menggiring opini masyarakat juga sering terjadi di Indonesia. Biasanya
penyaluran aspirasi dilakukan melalui aksi demonstasi oleh mahasiswa di berbagai daerah
Indonesia[2] . Tak jarang aksi ini ditunggangi oleh pihak yang diuntungkan. Oleh karena itu
perlunya sosialisasi kepada masyarakat umu mengenai isi RUU sangat diperlukan. Hal ini
bertujuan agar aksi penyampaian aspirasi murni dilakukan menurut pemikiran masyarakat
sendiri tanpa ditunggangi oleh pihak manapun. Aksi demonstrasi ini tak jarang memakan
korban demi tersalurkannya sebuah aspirasi. Aparat keamanan, pemerintah perancang
Undang- Undang, dan masyarakat pemberi aspirasi seharusnya bersatu sesuai makna sila ke-3
dan menerapkan demokrasi secara bersama-sama. Hal ini bertujuan agar tujuan dan urgensi
pembentukan Undang-undang tidak terhambat. Selain itu aspirasi masyarakat yang belum
tersampaikan sepenuhnya oleh badan DPR dapat disampaikan melalui demonstrasi.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan dan saran
Indonesia merupakan negara demokrasi yang memegang teguh demokrasi dalam
segala lini kehidupan. Bahkan negara Indonesia juga berkedaulatan rakyat dimana rakyat
berperan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Merujuk kepada rumusan Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 menyampaikan makna dalam Pembukaan UUD bahwa Indonesia berkedaulatan
rakyat. Dalam prakteknya demokrasi erat kaitannya dengan aksi demonstrasi sebagai media
penyalur aspirasi. Hal ini dilakukan ketika perwakilan rakyat, yaitu DPR sekaligus
perwakilan rakyat dirasa belum maksimal dalam mewakili suara rakyat[1]. Aksi demonstrasi
tak jarang menghambat suatu proses pengambilan keputusan seperti pada proses
pembentukan Undang-Undang. Undang-Undang sebagai landasan konstitusional dinilai
sangat penting keberadaannya untuk menjamin kepastian hukum. Sesuai dengan asas
legalitas yang berbunyi “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli” . Asas
tersebut menyatakan tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Hal ini juga selaras
dengan Pasal 1 ayat 1 RUU KUHP.

Oleh karena itu diharapkannya rasa persatuan oleh semua pihak sesuai dengan makna sila
ke-3 Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dalam pembentukan konstitusi
yaitu Undang-Undang melibatkan berbagai pemikiran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
melanjutkan aspirasi dari berbagai pihak. Jika perintah persatuan dari Pancasila tidak bisa
menyatukan berbagai pihak, lalu mana yang akan didahulukan antara demokrasi dan proses
pembentukan Undang-Undang? Disini penulis menyatakan bahwa kedua pilihan tersebut
tidak serta merta bisa dipilih salah satu dan mengorbankan yang lain. Karena akan muncul
banyak kekacauan jika hal ini terus dilakukan tanpa mendalami makna dan menerapkannya
dalam praktik secara langsung makna Pancasila sila ke-3.

Saran

  1. Aparat keamanan memberikan rasa aman kepada masyarakat saat melakukan aksi
    demonstrasi
  2. Pemerintah mempertimbangkan aspirasi masyarakat
  3. Masyarakat memahami urgensi dari pembentukan Undang-Undang
  4. Seluruh pihak diharapkan bekerja sama demi berjalannya demokrasi dan
    pemenuhan kebutuhan landasan konstitusional yang akurat sesuai zaman
  5. Lembaga pembuatan Undang-undang diharapkan lebih masif dalam sosialisasi
    Rancangan Undang-Undang (RUU)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *