Bryan Korua
Polisi Virtual di Indonesia mulai mengawasi aktifitas pelanggaran di media sosial sejak akhir bulan lalu, berdasarkan surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021. Polisi Virtual resmi diluncurkan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk mencegah tindak pidana terkait Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di dunia siber Indonesia.
Dilansir dari situs CNN Indonesia (25/2/2021), model dan cara kerja dari Polisi Virtual adalah dibentuknya tim khusus yang melakukan patroli siber di media sosial. Para tim tersebut mengawasi konten-konten yang terindikasi hoaks, serta hasutan pemecah belah di berbagai platform, seperti di Instagram, Twitter, dan Facebook.
Apabila Polisi Virtual menemukan konten yang melanggar, mereka akan mengirimkan DM ke pemilik akun berupa peringatan agar pemilik akun menghapus konten yang berpotensi melanggar pidana dalam waktu 1×24 jam.
Selanjutnya, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi dalam wawancara dengan CNN Indonesia menerangkan apabila peringatan awal lewat DM diabaikan oleh pemilik akun, maka penyidik akan memberikan peringatan kedua, jika masih diabaikan maka tim akan memanggil pemilik akun untuk diklarifikasi. (25/2/2021).
“Kami lakukan mediasi,restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice,” ujarnya dalam wawancara tersebut (25/2/2021)
Restorative justice adalah suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.
Slamet juga menegaskan bahwa kehadiran polisi virtual itu tak akan mengekang kebebasan berpendapat warga sipil di dunia siber hanya saja setiap kritikan yang diberikan harus secara beradab.
Dapat disimpulkan bahwa polisi virtual bertujuan untuk menekan penyebaran konten-konten negatif di media sosial dengan melakukan peringatan dan mediasi terhadap pemilik akun tanpa merusak kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia.
Sebelumnya warganet Indonesia mendapat predikat sebagai warganet paling tidak sopan di media sosial oleh Microsoft. Hasil survei tersebut dilihat berdasarkan 3 faktor yaitu: tingkat hoaks dan penipuan, tingkat ujaran kebencian, hingga tingkat diskriminasi
Dengan keluarnya hasil survei tersebut membuktikan bahwa sangat sejalan dengan diberlakukannya polisi virtual yang tujuan nya sudah sangat jelas yaitu untuk melawan konten-konten negatif seperti: hoaks, ujaran kebencian, hingga diskriminasi di media sosial.
Besar harapannya, Ketika aparat negara sudah mengambil peran kita pun sebagai warganet Indonesia harus ikut berperan aktif dengan cara menjadi pengguna media sosial yang cerdas agar masalah seperti hoaks, ujaran kebencian, hingga diskriminasi dapat berkurang bahkan hilang.
Semoga kita semakin sadar bahwa kehidupan bermedia sosial yang baik sangatlah penting karena akan sangat tidak baik dampaknya jika kita tidak cerdas dalam bermedia sosial dan dengan adanya polisi virtual semakin mengingatkan kita bahwa penting untuk tidak memuat konten-konten yang merugikan.