Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan flora dan fauna. Tak hanya itu saja, keragaman suku, bahasa, dan agama, turut menghiasi dinding persatuan Indonesia. Tak seperti halnya dengan negara-negara lain yang ada di belahan dunia. Contohnya Amerika, yang menjadi bentuk perserikatan negara-negara bagian, tak seperti juga dengan negara-negara yang ada di Timur Tengah yang hanya memiliki beberapa identitas kesukuan. Walau dengan ribuan perbedaan yang terjadi secara luar biasa, Indonesia memiliki kerangka filosofis yang begitu luhur yaitu Bhineka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu.
Kerangka ini pula yang melahirkan proses terjadinya kerjasama yang begitu besar, atau yang sering kita sebut gotong royong. Seperti tercatat dalam sejarah, pada masa kolonial, semua suku yang ada di indonesia pun bersepakat bahwa penjajahan adalah penghilangan asas kemanusiaan. Sehingga menuntut hati nurani mereka untuk bergerak bersama-sama dalam melawan penjajah dan memperebutkan kemerdekaan.
Kemerdekaan telah kita raih, Soekarno telah memproklamirkanya dengan khidmat. Namun, tantangan masih begitu panjang dalam proses menyejarah. Seperti kita ketahui bersama dari pasca kemerdekaan,bangsa ini diuji dengan begitu banyak polemik, mulai dari pergantian kekuasaan dan pergantian sistem hingga akhirnya reformasi menampakkan dirinya ketika tahun 98.
Pasca reformasi, indonesia masih terlalu dini dalam menyikapi demokrasi. Inilah tantangan kita saat ini. Namun, tantangan kali ini berbeda dengan para pendahulu kita. Seperti bahasa Soekarno “perjuangan saya masih lebih mudah karena melawan penjajah, perjuangan kalian akan terasa lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Diktum ini nyata terjadi saat ini, dan tentu saja perlu persatuan untuk membendungnya.
Saat dibukanya era informasi maka sekat-sekat wilayah antar Negara juka ikut terbuka dan tak ada lagi batas usia. Semua terlihat samar di dalam maya, meminjam bahasa Baudrillard yaitu Simulacra;Simulasi imajiner yang seakan-akan itu adalah nyata. Kebenaran harus dipertanyakan dalam dunia maya, sebab itu hanyalah simulasi semata. Banjirnya informasi dalam kanal media sosial bisa saja merupakan produk impor yang telah dipelintir lebih dulu, pasalnya semua akan terlihat benar apabila itu menyentuh aspek emosional.
Narasi-narasi hoax, intimidasi, dan persekusi akan meninggalkan luka psikis yang justru lebih berbahaya ketimbang luka fisik. Korban dari tindakan ini bisa mengalami depresi dan yang lebih parahnya lagi adalah bunuh diri.
Kemunculan media sosial pula di ibaratkan seperti pisau bermata dua; di satu sisi dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan, akan tetapi sangat berbahaya jika salah digunakan. Brain Washing atau cuci otak adalah salah satu cara licik yang sering digunakan di media sosial. Tentu saja dengan menggunakan sarana ini, akan lebih efektif dan efisien dalam menargetkan korban yang di tuju. Dampaknya ada beberapa praktek cuci otak yang sifatnya mendorong korbanya untuk nekat melakukan tindak kekerasan.
Propaganda seperti ini tentu sangat berbahaya. Apalagi dalam konteks negara kesatuan seperti Indonesia dengan beragam latar belakang suku, ras dan agama akan menimbulkan gesekkan yang lebih besar dibanding konflik yang terjadi di negara lain. Maka dari itu, rasa gotong royong menjadi benteng terakhir dalam membendung propaganda-propaganda seperti ini.
Selebihnya adalah, proses verifikasi lebih dulu yang teramat penting tanpa mengenyampingkan aspek kebebasan dalam berpendapat. Saring sebelum Sharing agar nantinya konten-konten yang tidak bermanfaat dapat kita eliminasi. “Lebih baik berhenti di saya” adalah gerakkan yang tepat untuk ditimbulkan dalam setiap komunitas kemasyarakatan dan yang paling terkecil adalah keluarga.
Butuh perjalanan panjang dalam mempersatukan bangsa ini. Pengorbanan harta, tenaga bahkan nyawa telah didedikasikan para pahlawan demi kita, anak cucu mereka. Tugas kita hanyalah mempertahankan kemerdekaan dan merajut persatuan. Sungguh, setetes keringat dalam membingkai persatuan akan terasa lebih berharga ketimbang pertumpahan darah akibat perpecahan. Marilah sama-sama menjadi netizen yang bijaksana! Indonesia terlalu mahal jika digadaikan pada para provokator.
Penulis : Fadil Maengkom
Editor : Vebriana Langkai